Penyakit
epilepsi atau ayan yang tidak bisa disembuhkan dengan mengonsumsi obat,
sekarang bisa dihadang melalui pencangkokan sejenis sel ke dalam otak.
Demikian peneliti dari Amerika Serikat yang disiarkan secara daring di Jurnal Alam Ilmu Syaraf, Ahad (5/5). Penelitian yang baru pertama kali dilakukan itu dilaporkan dapat menghentikan kejang-kejang (ayan) pada tikus dewasa, sebagai percobaan untuk manusia. Dengan demikian menimbulkan harapan untuk perawatan bagi penderita penyakit tersebut.
Selama ini obat-obatan antiepilepsi dan perawatan lain hanya bisa mengurangi dua pertiga kejang yang dialami penderita. Sedangkan sisa sepertiganya tidak bisa dikalahkan oleh obat dan terapi apa pun. Pasien yang makan obat juga menghadapi dampak sampingan dari obat-obatan itu.
Para peneliti dari Universitas California di San Fransisco mencangkokkan sel baru penghambat urat syaraf yang disebut medial eminensia ganglionik ke dalam hipokampus di dalam otak tikus dewasa penderita ayan.
Mereka menemukan perawatan itu dapat menghilangkan separuh dari kejang-kejang yang terjadi dan secara berangsur mengurangi sisanya. Selain mengurangi kejang-kejang, perawatan itu membuat kegelisahan tikus percobaan berkurang dan juga kejangnya sedikit reda.
Analisis dari otak tikus menunjukkan sel baru itu bisa sepenuhnya menyatu dengan bagian tempat pencangkokan. Para peneliti mengatakan mereka sudah mencoba menggunakan jenis sel lain untuk dicangkokkan pada hewan pengerat percobaan tersebut, tetapi gagal menghentikan kejang-kejang.
"Hasil penelitian ini mendorong kami untuk melangkah maju menggunakan penghambat syaraf dengan pencangkokan sel pada orang dewasa penderita epilepsi. Prosedur ini menawarkan kemungkinan mengendalikan kejang dan menyelamatkan defisit kognitif pada pasien," kata kepala penelitian Scott C Baraban. i mulut serta sisa-sisa makanan. Plak secara alami senantiasa ada di mulut.
Koloni bakteri hidup dari sisa makanan pada plak. Ibarat manusia, koloni bakteri itu memakan sisa makanan tersebut, mencernanya, lalu mengeluarkan sisa metabolismenya. Aktifitas tersebut menghasilkan zat-zat asam yang merusak mineral gigi.
Plak paling mudah menempel pada perbatasan antara mahkota gigi dengan gusi. Tidak mengherankan, kerusakan gigi sering berawal di daerah tersebut.
Bakteri menggerogoti gigi di area tersebut hingga terbentuk semacam parit yang makin memudahkan plak menempel dan menumpuk.
Keberadaan tumpukan plak tersebut akan memicu reaksi pertahanan pada gusi. Reaksi itu muncul dalam bentuk peradangan gusi yang menandakan sistem kekebalan tubuh sedang berupaya melawan invasi bakteri agar tidak sampai masuk ke daerah akar gigi.
"Saat itulah gusi mudah berdarah. Tidak hanya saat menyikat gigi, darah dari gusi bisa saja keluar begitu saja," kata Yudha.
Gusi berdarah seharusnya disadari sebagai tanda ada problem pada gigi dan gusi. Namun karena tidak menimbulkan nyeri, hanya terjadi sesaat dan darah yang keluar mudah dihilangkan dengan berkumur, banyak orang mengabaikan tanda itu.
Ketika diabaikan, aktivitas bakteri akan berlanjut hingga menginfeksi daerah akar gigi. Kondisi yang demikian, selain bisa menimbulkan infeksi fokal juga menyebabkan rusaknya jaringan penyangga gigi (periodontal), menimbulkan apa yang disebut periodontitis.
"Periodontitis membuat seseorang mudah kehilangan gigi. Gigi bisa tanggal tiba-tiba," ujar Yudha
No comments:
Post a Comment