Kini hari telah berganti, sang mentari telah mengintip di balik cakrawala
memberi warna jingga yang membuatnya semakin cantik. Sinarnya pun menyusup ke
dalam kamarku melalui jendela kamarku yang telah terbuka. “Ehmmm…” erangku
karena sinarnya berhasil membuka mataku. Tanpa menunggu lama kulangkahkan
kakiku menuju kamar mandi, setelah selesai aku bersiap - siap untuk berangkat
sekolah. Namaku adalah Fiona Choliesta, anak semata wayang yang memiliki sifat
cuek tapi sangat melindungi apa yang aku sayangi dan cintai.
“Selamat pagi ma, pa” sapaku sebelum mencium kepada kedua orangtuaku yang
sedang duduk di kursi meja makan. Setelah itu aku duduk bersama mereka dan
memakan sarapanku sendiri. Setelah itu, aku berangkat menuju sekolah
menggunakan mobil pemberian kedua orangtuaku tersayang. Perjalanan menuju
sekolahku memakan waktu kurang lebih 30 menit. Aku bersekolah di sekolah swasta
ternama di Jakarta meski begitu aku sendiri merasa kurang nyaman bersekolah di
sini karena pergaulan di sini kurang baik mengingat semua anak yang bersekolah
di sini tergolong kalangan atas, termasuk diriku sendiri. Di sekolah ini aku
hanya memiliki satu orang teman, namanya Fiorenza dan aku memanggilnya Renren entah kenapa aku suka dengan panggilan
itu meski sering dia memarahiku karena memanggilnya begitu. Renrren anak
perempuan yang cantik, pintar, baik, dan ramah namun sayang dia sangat tertutup
dengan oranglain semua itu disebabkan karena perceraian orangtuanya. Dan satu
hal yang pasti aku sangat menyayangi Renren sebagai sahabat bahkan saudaraku
sendiri begitu juga dengan orangtuaku.
“Ting…tong…ting…tong” bel sekolah tanda pelajaran dimulai berbunyi. “Morning class” sapa wali kelasku., Bu
Sisca. Tapi ternyata dia masuk bersama seorang anak laki - laki yang bisa
dibilang memiliki wajah cukup tampan. “Pagi ini kita kedatangan teman baru.”
Katanya. “Silahkan perkenalkan dirimu” perintah Bu Sisca kepada anak baru itu.
“Bonjour, J’mapplle Claudius. Saya
murid pindahan dari Perancis” katanya memperkenalkan diri yang disambut riuh
suara teman sekelasku terutama para murid perempuan. Hanya aku dan Renren yang
tidak peduli akan hal itu. Setelah itu dia duduk dan ternyata dia duduk tepat
di belakangku. Entah kenapa aku merasa pernah mengenal wajahnya, tapi tak
kupikirkan hal itu. Hari ini pelajaran telah usai, aku pun segera melangkahkan
kakiku menuju lapangan parkir. Ternyata murid baru itu berpapasan denganku dan
tersenyum dan dengan terpaksa aku pun mengulas senyum untuknya.
“Hai Fio” sapanya kepadaku. “Hmm.” Jawab ku singkat. Namun aneh bagiku
karena kami belum berkenalan tetapi dia mengetahui namaku. Ya, sudahlah bukan
urusanku, aku kan memang termasuk popular di kalang siswa. “Kurasa kau sudah
melupakan ku ya?” Tanyanya padaku yang membuatku mengkerutkan keningku karena
bingung.
Entah kenapa belakangan ini aku merasa kesehatanku menurun dan memutuskan
untuk memeriksakannya ke dokter. “Bagaimana dok hasil pemeriksaannya?” Tanyaku
tegang karena melihat wajah dokter yang tak kalah tegang denganku. “Setelah
diperiksa, ternyata anda mengidap kanker hati stadium akhir. Dan sayangnya
waktu anda untuk hidup tinggal 30 hari lagi.” Jawab sang dokter. Grap!
Perasaanku dan pikiranku seperti ditimpa oleh batu besar berbobot ribuan ton,
sangat sakit dan menyedihkan. Setelah itu, aku keluar dari ruang pemeriksaan
dengan perasaan galau.
Setelah pemeriksaan itu, aku pulang dan mengurung diri di kamarku
sendirian. Dan aksiku ini membuat seisi rumahku panik. Semua orang berusaha
untuk masuk ke kamarku, namun tak ku ijinkan satu pun dari mereka untuk masuk.
Aku pun membolos sekolah beberapa hari karena masalah ini. Ya, siapa yang tidak
frustasi mendengar berita ini ditambah lagi dengan perkiraan waktu hidup yang
sangat singkat. Setelah berhari- hari larut dalam kesedihan aku pun sadar semua ini tidak boleh berlangsung lama.
Aku hanya akan membuang waktuku yang sangat singkat jiak terus seperti ini. Dan
setelah malam itu aku pun berjanji dengan diriku sendiri agar membuat orang-
orang disekitarku untuk tersenyum bersamaku tanpa mengetahui akan hal yang aku
alami saat ini meskipun aku menyimpan masalah dari semua orang.
“Fio.” Teriak Renren dan berlari memelukku erat. Ingin rasanya aku menangis
saat ini tapi tidak boleh, aku harus terlihat sangat baik di depan semua orang.
Kami pun berjalan bersama sambil bergandengan erat seperti dua sahabat yang
berpisah puluhan tahun.
“Hai!” Sapaku pada Claudius sambil tersenyum dan dibalas dengan senyuman
manisnya. Entah mengapa aku merasa aku harus mengenal Claudius lebih dalam lagi.
“Fio, apa kamu masih belum mengingatku?” Pertanyaan yang sama yang Claudius
lontarkan saat kami berpapasan di parkiran waktu itu. “Entahlah, aku memang
merasa mengenalmu tapi aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Hehehe…” Jawabku
sambil tertawa canggung. “Ingatanmu sangat buruk ternyata tidak pernah berubah
sejak dulu. Hahaha.” Jawabnya sambil tertawa dan menjitak kepalaku pelan.
“Sakit tau! Lagian aku memang tidak tahhu kamu itu siapa.” Gerutuku sambil
mengusap kepalaku yang sebenarnya tidak sakit. “Sakit ya? Maaf kalu begitu.”
Katanya sambil mengusap puncak kepalaku karena khawatir. Deg… Perlakuannya
kepadaku membuatku terkejut, ada perasaan rindu sekaligus senang mendapatkan
perlakuan manisnya saat ini.
Hari telah berganti minggu, dan kini kesehatanku semakin memburuk. Aku
semakin sering masuk dan diopname di
rumah sakit tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku yang membuatku sering mereka
omeli. Dan sering dicereweti oleh Renren dan Claudius karena kekhwatiran
mereka. Melihat perlakuan mereka semua kepadaku membuatku semakin sedih
menyadari bahwa kini waktuku di dunia tinggal seminggu. Dan tak peduli apa yang
dikatakan dokter aku akan menghabiskan waktuku ini bersama mereka.
Hari pertama dalam minggu terkahirku, aku pergi membolos sekolah bersama
Renren dan Claudius. Kami pergi piknik ke sebuah bukit kecil yang indah di luar
kota, berjalan, makan, bercanda, dan menikmati pemandangan bersama. Tanpa
sadar, air mata yang sedari tadi ku tahan mengalir begitusaja membasahi pipiku.
Saat ku ingin mengusapnya, ternyata tanganku ditahan oleh tangan Claudius, dan
dia mengusap air mataku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Hangat dan
nyaman itulah yang aku rasakan saat.
Hari kedua dalam minggu terkahirku, aku membolos sekolah lagi. Kali ini aku
hanya berdua dengan Claudius, karena dia yang memintaku dan entah mengapa aku
menurutinya. Kami pergi bersama ke sebuah danau tempat kami dulu menikmati
waktu bermain kami bersama. Ya, sekarang aku sudah mengetahui bahwa Claudius
adalah teman kecil sekaligus cinta pertamaku hingga saat ini. Saat kami sedang
duduk bersama memandang langit sore dan menikmati hembusan angin yang
menerbangkan uraian rambutku, tiba - tiba Claudius menangkup wajahku dengan
tangannya dan menggerakkan kepalaku untuk menghadapnya. Kemudian, dia
menggenggam tanganku erat dan berkata “Fio, aku kembali ke sini hanya untuk mu,
cinta pertamaku, dan aku ingin kamu juga menjadi cinta terakhir untukku. Tak
peduli apapun yang akan terjadi di depan sana, karena aku hanya menginginkanmu,
Fiorenza Samantha untuk menjadi milikku.” Katanya yang membuatku terbius karena
ucapan tulusnya saat ini. “Fio, maukah kamu menjadi pendampingku di masa depan?
Mungkin initerlalu cepat tapi aku yakin cintaku akan tetap hanya untukmu.
Buktinya, selama belasan tahun kita berpisah aku selalu mencintai bahkan
mengejarmu ke sini.” Tambahnya lagi. Air mataku mengalir deras mendengar
pengakuan manis dari mulutnya, seandainya dia tahu bahwa umurku tinggal
beberapa hari lagi. Mau, satu kata yang sangat ingin aku katakana padamu tapi
kurasa tidak mungkin karena aku akan segera pergi dari dunia ini, batinku dalam
hati. “Maaf Claudius, aku tidak bisa memberikan jawaban untukmu saat ini. Tapi
jujur, aku juga sama dengan mu. Menyayangi dan mencintaimu sejak dulu.” Kataku
padanya.
Hari ketiga dalam minggu terakhirku, hari ini hari libur nasional dan aku
memutuskan untuk menghabiskan hari ini bersama kedua orangtuaku. Pagi ini
seperti biasa dimulai dengan sarapan bersama. Setelah itu, kami menonton acara
televisi favorit kami ditemani oleh teh dan kopi buatan mama. “Ma, pa, malam
ini aku mau tidur bersama kalian ya. Sudah lama kita tidak tidur bersama.”
Kataku memohon kepada mereka. Dan dibalas oleh anggukan senyuman dari mereka.
Dan hari ini kami menghabiskan waktu kami bersama - sama, melihat tawa dan
senyuman mereka membuatku senang sekaligus sedih mengingat waktu yang semakin
singkat. Malam pun tiba, kami memasuki kamar orangtuaku dan tidur bersama. Sama
seperti saat aku kecil ibuku mengusap dan membelaiku sebelum tidur. Di saat
mereka telah tidur kupandangi wajah yang dihiasi sedikit keriput dan rambut
yang kini mulai memutih membuatku semakin sedih melihat mereka disaat seperti
ini ditambah lagi kenyataan bahwa aku adalah anak semata wayang mereka.
Hari keempat dalam minggu terakhirku, entah mengapa hari ini aku ingin
menyendiri. Aku memutuskan untuk membolos untuk ketiga kalinya dalam minggu ini
dan aku memutuskan untuk pergi ke sebuah taman indah namun sepi pengunjung. Di
taman itu aku mengingat kembali hari - hari terindahku bersama mama, papa,
Renren, dan Claudius. Mengingat hidupku yang tinggal tiga hari lagi membuatku
semakin larut dalam kesedihan aku menangis terisak meluapkan segala beban
kesedihan yang selama ini kutanggung sendiri. Tak hentinya aku menangis
meratapi diriku sendiri yang masih belum mampu untuk melepaskan kehidupanku di
dunia dan orang - orang yang sangat aku sayangi dan cintai. Tak terasa sore
telah tiba, aku pun bergegas pergi untuk pulang ke rumah. Tapi tiba - tiba,
tubuhku tidak terasa lemas, langsung saja ku telepon dokter yang memeriksaku
untuk menjemputku di taman ini dan segera membawaku ke rumah sakit.
Hari kelima dalam minggu terakhirku, dan kini kutemukan diriku berada dalam
kamar rumah sakit tempatku biasa dirawat. Entah kenapa saat ini aku ingin
menuliskan surat perpisahanku untuk mama, papa, Renren, dan Claudius. Tak
terasa mentari telah terbenam digantikan dengan sinar bulan yang ditemani oleh
bintang - bintang yang menghiasi langit. Pertanda bahwa hari ini akan segera
berkahir dan hari baru sudah menanti esok hari.
Hari keenam dalam minggu terkahirku, hari ini aku memutuskan untuk memberi
tahu mereka bahwa aku berada di rumah sakit. Sore ini aku memberi nomor telepon
mama, papa, Renren, dan Claudius kepada suster dan memintanya untuk menghubungi
mereka dan memberi tahu keberadaanku tanpa memberi tahu keadaan kesehatanku
yang sesungguhnya. Setelah dihubungin, mereka datang ke rumah sakit dan melihat
keadaanku dan seperti sebelumnya aku berusaha terlihat baik - baik saja di
depan mereka karena tidak mau melihat mereka sedih dan khawatir karena
keadaaanku. Aku meminta mereka berempat di sini menemaniku malam ini tanpa
memberi tahu bahwa ini adalah malam terakhirku. Entah mengapa malam ini aku
merasa aku akan pergi. Aku menangis tersedu yang membuat mama, papa, Renren,
dan Claudius terbangun. Mereka segera menghampiriku dan menanyakan ada
apa denganku. Saat aku ingin menjelaskan keadaanku tiba - tiba nafasku terasa
sesak dan aku tidak bisa mengeluarkan suara. Dan ketika aku memberikan surat
terakhirku pada mereka aku pun menghembuskan nafas terakhirku.
Orangtua Fiona,
Renren, dan Claudius melihat hal itu pun menangis kehilangan sosok yang sangat
mereka sayangi dan cintai. Dengan segera mereka mengurus pemakan Fiona. Setelah
upacara pemakaman usai tinggalah orangtua Fiona, Renren, dan Claudius. Mengingat
surat yang diberikan Fiona yang ia bawa saat ini, Claudius pun membuka dan
membaca surat tersebut dan memberikan surat itu kepada Renren juga orangtua
Fiona bergantian.
Untuk mama, papa, Renren, dan Claudius
Mungkin saat kalian membaca surat ini aku sudah tidak ada di dunia ini.
Maaf jika selama ini aku menyembunyikan masalah ini dari kalian. 30 hari yang
lalu aku memeriksakan diriku ke dokter dan ternyata aku divonis mengidap kanker
hati stadium akhir. Aku sangat terpuruk saat itu, inilah penyebab mengapa aku
mengurung diri di kamarku dan tidak bersekolah. Aku berusaha untuk selalu
terlihat baik dimata kalian karena aku tidak mau melihat kalian bersedih karena
keadaanku ini. Dan aku memohon kepada kalian dengan sangat agar melepaskanku,
jangan bersedih dan terpuruk karena kehilangan diriku. Ini semua adalah rencana
Tuhan dan rencan Tuhan selalu indah pada akhirnya.
Ma, mama jangan bersedih karena kehilangan diriku. Mama harus kuat karena
papa masih membutuhkan mama. Dan jika mama menginginkan sosok seorang anak,
masih ada Renren yang sudah kita anggap sebagai bagian dari keluarga kita. Aku
tidak akan tenang jika melihat mama bersedih. Mama tidak mau itu terjadi bukan?
Maka dari itu bangkit, tersenyum, dan berjalanlah terus ke depan ma kerana pada
akhirnya kita akan bertemu di sini pada saat yang telah ditentukan Tuhan.
Pa, papa harus kuat karena papa adalah kepala keluarga, mama sangat
membutuhkan, menyayangi, dan mencintai papa. Berjanjialah pada Fio agar papa
menjaga mama untuk Fio karena Fio sangat mencintai mama begitu juga dengan
papa. Kuatlah pa dan damping mama hiduplah bersama selamanya. Di sini Fio tidak
mau melihat ada tangisan kesedihan dari mama dan papa apapun alasannya.
Ren, kamu adalah satu - satunya sahabat terbaikku hingga saat ini. Kamu
sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, berjanjilah padaku agar kamu mau
terbuka dan bergaul dengan orang lain. Jika kamu merindukan sosok orangtua
lihatlah ada orangtuaku yang bersedia menjadi tempatmu bernaung. Jika kamu
merindukan sosok seorang sahabat lihatlah ada Claudius yang siap membangunkanmu
disaat kamu jatuh. Ren, jangan bersedih karena aku pergi. Masa depanmu masih
sangat panjang jadi berjuanglah untuk kehidupanmu sendiri. Dan aku mohon rawat
dan perhatikanlah kedua orangtuaku dan anggaplah bahwa mereka adalah
orangtuamu.
Dius, kamu memang cinta pertama dan terakhirku hingga saat ini. Perasaan
cinta ini tidak pernah berkurang bahkan perasaan ini bertambah setiap harinya.
Aku percaya bahwa kamu akan menemukan cinta sejati, meskipun itu bukan diriku.
Bangkitalah dan bukalah hatimu untuk wanita lain di luar sana jangan terus
hidup dalam bayang - bayangku. Aku mohon kepadamu jagalah kedua orangtuaku dan
sahabatku.
Aku mohon sekali lagi agar kalian melepaskan kepergianku ini. Hiduplah
dengan baik karena kita tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Ragaku
memang pergi namun hatiku akan selalu ada bersama dengan kalian apapun yang
terjadi. Selamat tinggal…
Note: Sebenernya cerpen ini saya buat untuk memenuhi tugas adik sepupu saya yang bersekolah di SMA Pangudi Luhur II Servasius.
No comments:
Post a Comment